Tanggung jawab atas nyawa pasien sering membuat dokter bedah mengalami depresi dan tak jarang terpikir untuk melakukan bunuh diri. Dibandingkan profesi lainnya, hasrat bunuh diri di kalangan dokter bedah termasuk paling tinggi.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan di jurnal Archives of Surgery edisi Januari 2011 mengungkap fakta yang cukup mengejutkan. Dari 7.905 dokter bedah di Amerika yang disurvei, 6,3 persen di antaranya pernah berkeinginan untuk melakukan bunuh diri dalam setahun terakhir.
Hasrat untuk mengakhiri hidup dalam keputusasaan lebih banyak menimpa dokter bedah senior dibandingkan dengan dokter-dokter muda. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, keinginan untuk bunuh diri 3 kali lebih sering terbesit oleh dokter bedah yang berusia 45 tahun ke atas.
Alasan yang melatarbelakangi keinginan bunuh diri para dokter bedah umumnya adalah stres, baik yang berhubungan dengan kehidupan pribadi maupun pekerjaan. Sekitar 16,2 persen di antaranya mengaku ingin bunuh diri gara-gara pernah melakukan kesalahan saat mengoperasi dalam 3 bulan terakhir.
Meski demikian, tidak semua dokter bedah yang disurvei mengkomunikasikan masalah yang dihadapinya kepada psikiater atau konsultan kejiwaan. Hanya 26 persen dokter bedah yang pergi ke psikiater saat stres, sedangkan 60,1 persen dari sisanya beralasan takut izin praktiknya dicabut jika ketahuan punya masalah kejiwaan.
"Perlu diteliti lebih lanjut faktor apa yang sebenarnya berpengaruh pada tingginya tingkat keinginan bunuh diri, dalam kaitannya dengan upaya mengurangi stres di kalangan dokter bedah," tulis para peneliti dari Mayo Clinic dalam laporannya seperti dikutip dari ScienceDaily, Selasa (18/1/2011).
Tait D Shanafelt, salah satu peneliti yang terlibat mengatakan ada beberapa faktor yang sebetulnya mendukung para dokter bedah untuk melaksanakan niat bunuh dirinya. Di antaranya, para dokter punya akses yang lebih mudah untuk mendapatkan racun dan obat-obat mematikan serta tahu betul cara menggunakannya.
Hasrat untuk mengakhiri hidup dalam keputusasaan lebih banyak menimpa dokter bedah senior dibandingkan dengan dokter-dokter muda. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, keinginan untuk bunuh diri 3 kali lebih sering terbesit oleh dokter bedah yang berusia 45 tahun ke atas.
Alasan yang melatarbelakangi keinginan bunuh diri para dokter bedah umumnya adalah stres, baik yang berhubungan dengan kehidupan pribadi maupun pekerjaan. Sekitar 16,2 persen di antaranya mengaku ingin bunuh diri gara-gara pernah melakukan kesalahan saat mengoperasi dalam 3 bulan terakhir.
Meski demikian, tidak semua dokter bedah yang disurvei mengkomunikasikan masalah yang dihadapinya kepada psikiater atau konsultan kejiwaan. Hanya 26 persen dokter bedah yang pergi ke psikiater saat stres, sedangkan 60,1 persen dari sisanya beralasan takut izin praktiknya dicabut jika ketahuan punya masalah kejiwaan.
"Perlu diteliti lebih lanjut faktor apa yang sebenarnya berpengaruh pada tingginya tingkat keinginan bunuh diri, dalam kaitannya dengan upaya mengurangi stres di kalangan dokter bedah," tulis para peneliti dari Mayo Clinic dalam laporannya seperti dikutip dari ScienceDaily, Selasa (18/1/2011).
Tait D Shanafelt, salah satu peneliti yang terlibat mengatakan ada beberapa faktor yang sebetulnya mendukung para dokter bedah untuk melaksanakan niat bunuh dirinya. Di antaranya, para dokter punya akses yang lebih mudah untuk mendapatkan racun dan obat-obat mematikan serta tahu betul cara menggunakannya.
Sumber : www.detikhealth.com